Perekonomian
Indonesia
Pengaruh
Bisnis Retail Terhadap Daerah Di Yogyakarta
Nama : Aji Asmoro Putro
NPM : 20213524
Kelas : 1EB18
Jurusan : Akuntansi
Mata
Kuliah : Perekonomian
Indonesia
Dosen : Antoni, SE.MM
Daftar
Isi
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang …………………………………… 3
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ritel …………………………………… 4
2.2 Pengertian Bauran Ritel …………………………………… 4
2.3 Komponen Bauran Ritel …………………………………… 4
2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan
Usaha Ritel …… 5
2.5 Retail Terhadap Kebijakan Pemerintah …………………………… 10
2.6 Perkembangan Bisnis Retail di Indonesia …………………… 10
2.7 Perkembangan Retail di Yogyakarta …………………………… 11
2.8 Pengaruh Bisnis Retail Terhadap Pendapatan
Daerah Yogyakarta 11
Daftar
Pustaka …………………………………… 12
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini pemasaran barang atau jasa umumnya
tidak dapat dikerjakan langsung dari produsen kepada konsumen, melainkan harus
melalui beberapa perantara yang menyalurkan barang dari produsen ke konsumen
yang dikenal dengan sebutan lembaga saluran distribusi (saluran pemasaran).
Sebagai mata rantai terakhir dari saluran pemasaran tersebut adalah pengecer
(retailer). Retailing (pedagang eceran) merupakan kegiatan yang sangat penting
dalam menyampaikan barang dari produsen ke konsumen.
Bangkitnya bisnis ritel, baik besar maupun ritel
kecil sebagai arena berbelanja berupa pusat-pusat petokoan, supermarket,
hypermarket, minimarket, departement store dan plaza, bermunculan di berbagai
kota besar dan kota kecil. Hal tersebut tidak lepas dari tuntutan kebutuhan
masyarakat yang ingin serba praktis, cepat dan menghemat waktu, dan nyaman,
kondisi ini didorong oleh semakin maraknya berbagai bisnis baru yang membuka
peluang timbulnya bisnis ritel baik peritel besar maupun peritel kecil.
Bisnis ritel di Indonesia makin hari dirasakan
semakin ramai dan persaingan bisnisnya menunjukan perkembangan yang cukup
pesat, namun tidak menjadi halangan bagi para pengusaha ritel untuk menambah
jumlah outletnya diberbagai wilayah, apalagi setelah meningkatnya sejumlah
supermarket/minimarket baru dari berbagai perusahaan ritel yang
menyelenggarakan program-program tertentu yang diyakini mampu mengajak
masyarakat untuk berbelanja di perusahaannya, sangat berpengaruh terhadap omzet
penjualan dan pengadaan barang dari bisnis ritel yang selalu menunjukan
kenaikan tajam.
Dengan semakin meningkatnya perkembangan bisnis
ritel baik besar maupun kecil serta banyaknya jumlah supermarket/minimarket di
berbagai wilayah menimbulkan persaingan yang kompetitif dalam bisnis ritel,
dimana setiap supermarket/minimarket berusaha untuk memperoleh pangsa pasar
seluas-luasnya, dan konsumen sebanyak-banyaknya.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Ritel
Ritel merupakan merupakan salah satu rantai saluran distribusi
yang memegang peranan yang penting dalam penyampaian barang dan jasa kepada
konsumen akhir.Ritel meliputi semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang
atau jasa secara langsung pada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan
bukan bisnis.
Kotler ( 2003: 535 ) dalam buku Foster (2008:34)
mendefinisikan sebagai berikut: “ritel meliputi semua kegiatan yang meliputi
semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang atau jasa secara langsung pada
konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis ”.
Sedangkan menurut Berman dan Ervans(2002 : 3) dalam
buku Foster (2008:34) pengertian ritel adalah: “ritel adalah tingkat terakhir
dari proses distribusi, di dalamnya terdapat aktivitas bisnis dalam penjualan
barang atau jasa kepada konsumen ”.
Dari berbagai pengertian diatas dapat dirumuskan
bahwa ritel adalah segala aktivitas perdagangan barang atau jasa kepada
konsumen akhir untuk digunakan sendiri, bukan untuk diperdagangkan lagi.
2.2
Pengertian Bauran Ritel
Pengertian bauran ritel menurut Masson, Mayer,
F.Ezeel (1998 : 49) dalam buku Foster(2008:51) adalah sebagai berikut : “bauran
ritel adalah semua variabel yang dapat digunakan sebagai strategi pemasaran
untuk berkompetisi pada pasar yang dipilih”.
Sedangkan menurut
Foster (2008:49) “Bauran ritel terdiri dari unsur-unsur strategis yang
digunakan untuk mendorong pembeli melakukan transaksi usahanya dengan pedagang
eceran tertentu”
Dari definisi Foster (2008:49) dijelaskan bahwa
bauran ritel merupakan unsur-unsur strategis untuk mendorong minat
konsumen.Sehingga bauran ritel merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku pembeli dan keputusan pembelian konsumen.
Dunne, Lusch dan Griffith (2002:53) dalam buku
Foster (2008:110) menyatakan ada enam komponen-komponen bauran ritel antara lain
merchandise, harga, periklanan dan promosi, pelayanan konsumen dan penjualan,
serta suasana toko dan desain toko.
2.3
Komponen Bauran Ritel
Untuk mendukung usaha ritel dibutuhkan
strategi-strategi terpadu, agar di dalam mengmbil suatu keputusan tidak
menyebabkan kerugian bagi perusahaan.Bauran penjualan ritel terdiri dari
unsur-unsur strategis yang digunakan untuk mendorong pembeli melakukan
transasksi usahanya dengan pedagang ritel tertentu.
Sementra itu Kotler dan Armstrong (2004:442) dalam
buku Foster (2008:110) merangkum demikian banyaknya komponen bauran ritel,
dalam hal ini ada sepuluh, enam komponen besar, yaitu bauran produk, layanan,
suasana toko, harga, promosi, dan lokasi.
2.4
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Usaha Ritel
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh Henri
Maruf, enam variable bauran eceran diantaranya meliputi :
1. Lokasi
( Location )
Lokasi adalah faktor yang sangat penting dalam
bauran pemasaran ritel. Pada lokasi yang tepat, sebuah gerai atau toko akan
lebih sukses dibanding toko lainya yang berlokasi kurang strategis, meskipun
keduanya menjual produk yang sama.
Sebelum sebuah toko atau tempat berbelanja
didirikan, langkah pertama adalah mempelajari suatu area agar investasi yang
ditanamkan dapat menguntungkan. Menurut Hendri Ma’ruf (2005 : 124), ada
beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi area perdagangan
ritel, diantaranya sebagai berikut :
1. Besar
populasi dan karakteristiknya
Jumlah penduduk dan kepadatan suatu wilayah meliputi
factor dalam mempertimbangkan suatu area perdagangan ritel. Jumlah peritel yang
sama di dua wilayah tetapi kepadatan penduduknya berbeda akan menyebabkan omzet
yang rendah pada peritel di wilayah yang kurang padat penduduknya.
2. Kedekatan
dengan pemasok
Pemasok mempunyai pengaruh pada peritel dalam hal
kecepatan penyediaan merchandise, kualitas produk yang terjaga, biaya
pengiriman, dan lain- lain. Jumlah pemasok sebisa mungkin ada beberapa supaya
tidak terjadi ketergantungan pada satu atau dua pemasok saja.
3. Basis
ekonomi
Basis ekonomi yang dimaksud di sini adalah indistri
daerah setempat, potensi pertumbuhan, fluktuasi karena factor musiman, dan
fasilitas seuangan. Industry yang bervariasi akan mempunyai pengaruh yang yang
berbeda dibandingkan dengan indistri yang terkonsentrasi ( pada suatu sector ).
4. Ketersediaan
tenaga kerja
Tenaga kerja yang diperhatikan adalah pada suatu
tingkat, yaitu dari tingkat administratif dan lapangan hingga management tranee
dan menjerial. Management trainee adalah pada lulusan perguruan tinggi yang
memulai karier di perusahaan ritel pada tingkat staf, dan diproyeksikan untuk
menjadi tenaga pemimpin. Tenaga manjarial adalah para assistant manager atau
manager bahkan general manager yang siap direktur dan siap kerja ( tidak
seperti management trainee yang harus dilatih lebih dulu).
5. Situasi
persaingan
Pertumbuhan luas toko yang sejalan dengan
pertumbuhan permintaan pasar ( yaitu besar belanja total penduduk setempat )
berarti semua perusahaan ritel setempat tumbuh secara stabil atau secara tetap.
Jika banyak pihak membuka gerai ritel dengan asumsi merebut pasar sebesar-
besarnya, maka kemungkinan yang terjadi adalah kejenuhan pasar, yaitu terlalu
banyak paritel dibandingkan total belanja konsumen.
6. Fasilitas
promosi
Adanya media massa seperti surat kabar dan radio
akan memfasilitasi kegiatan promosi peritel. Juga kesiapan sarana pendukung
seperti biro iklan, production house, dan pembuat barang souvenir yang
memperlancar kegiatan promosi perlu mendapat perhatian.
7. Kesediaan
lokasi toko
Factor bagi suatu area perdagangan dan hal- hal yang
terkait dengan lokasi adalah jumlah lokasi serta jenisnya, akases pada masing-
masing lokasi, perpeluang kepemilikan atau leasing, pembatasan zona
perdagangan, dan biaya- biaya terkait.
8. Hukum
dan peraturan
Hukum dan peraturan perlu diperhatikan khususnya
jika terdapat Perda ( Peraturan Daerah ) yang tidak terdapat di daerah lain.
2. Barang
Dagangan ( Marchandise )
Merchandise merupakan produk- produk yang dijual
peritel dalam gerainya, sedangkan merchandise adalah kegiatan pengadaan
agarang- barang yang sesuai dengan bisnis yang dijalani toko ( produk berbasis
makanan, pakaian, barang kebutuhan rumah dan produk umum lainnya ) untuk
disediakan dalam toko pada jumlah, waktu dan harga yang sesuai untuk mencapai
sasaran toko atau perusahaan ritel.
Para pelanggan selalu berharap untuk memenuhi apa
yang dibutuhkan dan diinginkannya disetiap toko, kebutuhan dan keinginan
pelanggan sangat beragam dan toko diharapkan dapat memenuhinya. Fungsi
pengelolaan barang dagangan ( merchandise ) merupakan fungsi yang harus diberi
prioritas, bagaimanapun efektif dan efisiennya bagian lain, bila urusan barang
dagangan salah, bila urusan barang dagangan salah, maka hampir dapat dipastikan
sukses akan sulit diraih. Pada toko- toko berupa minimarkt yang tergabung dalam
satu kelompok besar seperti Alfamart, disebut juga sebagai chainstore karena
satu toko dengan lainnya terkait dalam suatu ikatan kelompok, pembelian
merchandise di pusatkan pada induk yang mengendalikan kelompok. Masing- masing
gerai atau toko tonggal menerima merchandise dan menjualnya.
3. Harga
(Price )
Penetapan harga adalah yang paling krusial dan sulit
dinatara unsure- unsur dalam bauran pemasaran ritel lainnya, dan harga
merupakan satu-satunya unsur dalam pemasaran ritel yang akan mendatangkan laba
bagi peritel. Sebuah toko dapat menjadi terkenal karena harga jual yang
ditetapkan cukup murah atau harga jual yang di tetapkan merupakan harga pasti.
Berdasarkan hal itu, pengecer harus dapat menetapkan harga yang tepat untuk
barang- barang yang akan dijualnya, sehingga kelancaran penjualan barang akan
lebih terjamin. Semua pengecer senantiasa berkeinginan menetapkan harga yang
tinggi dengan volume penjualan yang tinggi pula, namun kedua hal ini sulit di
terapkan secara bersamaan.
Penetapan harga berkaitan dengan aspek- aspek laba,
pelanggan, pasar dan persaingan, pengadaan barang dagangan, citra kualitas
merek yang berbeda dan hokum peraturan, yang akan di uraikan sebagai berikut :
1. Harga
berkaitan dengan maksimalisasi laba
Setiap peritel atau perusahaan dagangan eceran,
sepertihalnya semua perusahaan, ingin memaksimalisasikan laba. Laba dapat
dicapai dalam jangka pendek dan jangka panjang.
2. Harga
berkaitan dengan pelanggan
Memaksimalisasikan laba adalah salah satu sisi dari
selembar mata uang, sisi lainnya adalah kepuasan konsumen. Tujuan perusahaan
adalah kepuasan pelanggan melalui operasional perusahaan yang akan member laba
yang patut.
3. Harga
berkaitan dengan pasar dan perdagangan
Factor pasar atu persaingan merupakan factor penting
yang amat mempengaruhi penetapan harga.Untuk suatu peritel yang hendak
memperluas pembeli dalam suatu wilayah atau dalam suatu segmen disebul sebagai
penetrasi pasar, penetapan harga rendah atau harga bersaing dilakukan.
4. Harga
berkaitan dengan pengadaan barang dagangan
Barang persediaan yang masih banyak dan agak lambat
penjualannya padahal tanggal kadaluarsanya tinggal beberpa bulan lagi,
mengharuskan tindakan penjualan sesegera mungkin. Itu hanya bisa dilakukan
dengan harga diskon atau menjual barang dengan beberapa paket.
5. Harga
berkaitan dengan citra kualitas
Harga berkaitan dengan citra kualitas, sebagian
besar masyarakat mempunyai anggapan bahwa terdapat kolelasi erat antara harga
dan kualitas.Harga yang rendah dianggap pertanda kualitasnya rendah sebaliknya
harga tinggi mencerminkan kualitas tinggi.
6. Harga
berkaitan dengan merk yang berbeda
Produk dari merek-merk yang berbeda dapat diberi
label harga yang berbeda menurut :
a. Merek
terunggul yang diberi label termahal
b. Merek
pesaing atau merek sendiri dengan label harga sedang, dan
c. Merek
dengan harga terendah
7. Harga berkaitan dengan hukum dan peraturan
Saat ini dapat dikatakan masih sangat minim hukum
dan peraturan yang mengatur penetapan harga barang dan jasa eceran. Ini berarti
para peritel mempunyai ruang gerak yang cukup bebas dalam menetapkan harga.
Namun patokan umim berlaku yaitu kepatutan berdasarkan etika bisnis khususnya
dari sudut pandang konsumen yaitu value for money.
4. Promosi
( Promotion )
Komunikasi sebagai dasar promosi bertujuan mendorong
target market untuk mau menjadi pembeli bahkan menjadi pelanggan setia. Esensi
dari komunikasi pemasatan ini adalahbagaimana kita dapat menyampaikan apa yang
kita tawarkan kepada konsumen dapat di terima dengan baik. Komunikasi pemasaran
tidak hanya membuat pelanggan tertarik dan ingin membeli, namun komunikasi
pemasaran juga bisa menciptakan citra tertentu yang kita sesuaikan dengan
pasaran sasaran.
Menurut Kotler yang di kutip dari buku M. Taufik
Amir ( 2005 : 85 ) menyatakan bahwa ada beberapa elemen penting dalam
komunikasi pemasaran yaitu periklanan, promosi penjualan, penjualan tatap muka
(personal selling), kehumasan (public relation) dan pemasaran langsung.
5. Pelayanan
( Service )
Menurut Kotler (2002 : 427) yang di alih bahasakan
oleh AB. Susanto menyatakan bahwa “ Pelayanan setiap tindakan atau keterampilan
yang dapat ditawarkan oleh apapun juga yang pada dasrnya tidak berwujud dan
tidak menyebabkan kepemilikan sesuatu, pelayanan dapat disertakan dalam produk
yang berbentuk fisik.”
Aspek pelayanan semakin hari semakin nyata perannya,
secara umum pelayanan tersebut meliputi bagai mana kecepatan melayani pelanggan
sebelum berbelanja dan pada saat berbelanja.Dengan demikian usaha eceran harus
mampu mencoba sedemikian rupa agar pelayanan yang dirasakan pelanggan meningkat
serta sesuai dengan kehendak pelanggan.
Unsure pelayangan adalah unsure yang memiliki
peranan penting dalam persaingan non- harga dengan pengecer-pengecer lain.
Unsure-unsur pelayanan menjadi nyata bagi perusahaan dalam bersaing dengan para
pesaingnya karena unsure pelayanan sangat sulit ditiru oleh pesaing. Menurut
Kotler (2002 : 446) yang di alih bahasakan oleh AB. Susanto membagi pelayanan
menjadi dua bagian yaitu prlayanan primer dalam usaha eceran antara lain adalah
pembayaran kredit, pengantaran, penanganan keluhan, penanganan parker, ruang
istirahat termasuk toilet. Sedangkan yang termasuk pelayanan pendukung antara
lain : pembungkusan, inpormasi lokasi
barang, konsultasi dan informasi pembelian, tempat penitipan barang. Pelayanan
adalah salah sato faktot pembeli nilai nilai tambah bagi peritel, atau pritel
dapat memilih kombinasi ragam prodak dan tingkat pelayanan sebagai positioning.
6. Suasana
Dalam Toko ( Atmosfer )
Jika iklan bertujuan memberitahu, menarik, memikat
atau mendorong konsumen, untuk datang ke gerai dan untuk membeli barang, maka
suasana toko atau atmosfer dalam gerai atau toko berperan penting mengikat
pembeli, membuat nyaman mereka dalam memilih barang belanjaan, dan mengingatkan
mreka prodak apa yang perlu di miliki baik untuk keperluan pribadi maupun
keperluan rumah tangga. Gerai kecil yang tertata rapih dan menarik akan lebih
mengundang pembeli di bandingkan gerai yang di atur biasa saja tapi bersih
lebih menarik dari pada gerai yang tidak di atur sama sekali dan tampak kotor.
Suasana dalam gerai menggambarkan moment of truth,
yaitu situasi langsung yang di rasakan konsumen pada saat berbelanja.Jika
seting dari suasana itu optimal maka peritel (dengan gerai yang di kunjungi
konsumen) akan dapat menyentuk emosi konsumen dan member pengalaman berbelanja.
Desain toko yang baik akan menarik banyak konsumen untuk datang, desain toko
merupakan strategi penting untuk menciptakan suasana yang akan membuat
pelanggan merasa betah berada dalam suatu gerai atau toko. Desai toko, yaitu
desain interior yang mencakup tata letak rak-rak barang, aksesoris toko, dan
desain eksterior mencakup lay-out, pintu masuk, dan jalan masuk.
Menurut Berman dan Evans (2004;105) dalam buku
Foster (2008:51) untuk bentuk toko yang berdasarkan Store Based Retail terdapat
strategi bauran penjualan eceran terdiri dari lokasi departement store (store
location) prosedur pembelian/pelayanan (operating procedures), produk/barang
yang ditawarkan (good offered), harga barang (pricing tactics), suasana
departement store (store atmosphere), karyawan (custumer services), dan metode
promosi (promotional methods).
Ketujuh hal inilah yang dijadikan acuan pembahasan
aplikasi bauran pemasaran di PT. Yomart Cabang Samarang Garut dimana pembahasan
adalah hasil wawancara dan kaitannya dengan teori bauran penjualan.
2.5
Retail Terhadap Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan aturan-aturan
operasi usaha modern. Perlunya kajian ulang mengenai sistem usaha modern yang
dapat berdampak buruk bagi sistem perekonomian sosial kemasyarakatan, yaitu
sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini tak boleh menguasai pasar Indonesia karena
tidak sesuai dengan sistem ekonomi dan kebudayaan bangsa.
Peran serta ego dalam penguasaan pasar baik pasar modern
maupun pasar tradisional akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta
mudah terciptanya konflik antar pedagang. Kapitalisme menimbulkan sikap saling
membunuh antar pedagang. Sistem kapitalis yang diberikan memang memilki
keuntungan yang besar bagi penganutnya, namun sistem ini justru bertolak
belakang dengan makna kerja sama, tolong menolong, serta gotong royong dalam
pengembangan tingkat perekonomian yang dilakukan secara bersama oleh semua
sektor ekonomi. Solusi yang dapat dilakukan adalah penataan ulang Undang-Undang
bagi ritel modern, hal ini untuk melindungi pasar tradisional dan produk dalam
negeri.
2.6
Perkembangan Bisnis Retail di Indonesia
Hipermarket mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Pada tahun 2010 industri hipermarket
di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Asosiasi Pengusaha Ritel
Indonesia (Aprindo) memperkirakan, total belanja ritel modern tahun ini bakal
mencapai Rp 100 trilyun. Sebanyak Rp 65 triliun merupakan belanja makanan dan
sisanya non-makanan. Dari jumlah belanja makanan ini, hipermarket mengambil
porsi 35 persen, minimarket 35 persen dan supermarket 30 persen. Makanan yang
merupakan kebutuhan pokok manusia, mengharuskan kita mau tidak mau untuk
berbelanja makanan dan minuman setiap harinya. Hal inilah yang menyebabkan
mengapa mini market dan hypermarket pertumbuhannya sangat pesat (Kompas.Com).
Pertumbuhan gerai ritel makanan di hypermarket rata
rata 30% per tahun dan supermarket 7% per tahun dan convenience store/mini
market sekitar 15%. Pada tahun 2003, penjualan sektor ritel modern makanan
dikuasai oleh supermarket 60%, hypermarket 20% dan sisanya 20% oleh convenience
store/mini market.
2.7
Perkembangan Retail di Yogyakarta
Potensi yang ada menyebabkan
banyaknya industri yang bergerak di sektor retail mencoba untuk merebut
pasar yang ada di Yogyakarta. Hypermarket Makro, Alfa, Giant, Hero, dan
Carrefour adalah beberapa contohretailer yang meramaikan pasar
persaingan di Yogyakarta. Banyaknya retailer yang ikut bermain di pasar
menuntut mereka untuk mempunyai suatu keunggulan kompetitif dan ciri khas yang
tidak dimilliki oleh para pesaingnya. Untuk jangka pendek hal ini dimaksudkan
agar konsumen menjadikan tempat mereka sebagai tempat pilihan untuk berbelanja,
sedang untuk jangka panjang hal ini bertujuan agar keunggulan kompetitif dan
ciri khas yang dimiliki dapat membangun citra positif perusahaan yang berujung
pada timbulnya loyalitas bagi konsumen.
Persaingan bisnis eceran atau retail
semakin ketat di wilayah Godean Sleman. Berdasarkan situasinya, bisnis
swalayan sendiri khususnya di wilayah Godean Sleman Yogyakarta sudah semakin
banyak. Mulia Toserba dan Swalayan Godean merupakan salah satu pelaku bisnis
yang berdiri relatif lama namun pengelolaan belum berjalan maksimal seiring
dengan tuntutan konsumen. Konsumen sekarang lebih selektif dalam memilih tempat
untuk berbelanja. Mulia Toserba dan Swalayan Godean terletak di jalan utama
Godean yang relatif ramai. Kondisi ramai ini sering membuat konsumen enggan
untuk berbelanja karena dirasa tempat ini terlalu ramai dan susah mencari lahan
parkir bagi kendaraan roda empat.
2.8
Pengaruh Bisnis Retail Terhadap Pendapatan Daerah Yogyakarta
Sejumlah kasus di banyak daerah,
pelaku bisnis ritel tradisional terus bertambah. Alih-alih bisa berkembang,
untuk bertahan saja banyak yang mengaku sebagai tersengal-sengal. Di Yogya,
kondisi serupa juga terlihat. Bahkan berdasarkan penelitian nyang dilakukan
oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan(Puskat) UGM & Lembaga Ombudsman Swasta
DIY, saat ini 31 market share di Yogya dikuasai oleh ritel modern. Dari 28
ritel modern yang tercatat, terkumpul dana belanja masyarakat sebesar Rp 70,5
triliun pertahun atau Rp 2,5 triliun per bulan. Dari total pendapatan tersebut,
83,8 persennya dikuasai oleh Alfamart dan Indomart.
Menjadi ironis, mengingat pedagang
kecil yang tersebar di Yogya, baik di pasar-pasar tradisional, kaki lima maupun
di ruko, hanya mampu mencapai Rp 156,9 triliun dengan pelaku yang mencapai
lebih dari 17,1 juta pedagang. Ini berarti setiap pedagang hanya bisa meraih
omzet sekitar Rp 700.000,- per bulan. “Kalau melihat data yang berhasil kami
kumpulkan, jelas ada ketimpangan. Maka tak mengherankan jika dalam kurun waktu
2-3 tahun ini banyak pedagang di berbagai pasar tradisional gulung tikar” ujar
peneliti Puskat Awan Santosa SE dalam workshop yang bertema Studi Formulasi
Kebijakan Perlindungan dan Model Pengembangan Pasar Tradisional di DIY, di
Gedung Disperindagkop DIY, awal bulan lalu. Secara umum, fenomena penetrasi
pemodal kuat dalam bisnis ritel telah menyebabkan terdesaknya pedagang
tradisional atau pebisnis ritel lokal. Terutama menurunnya omzet penjualan.
Hasil penelitian menujukkan penurunan rata-rata sebesar 5,9 persen. Adapun
penurunan terbesar dialami kelompok pedagang dengan aset antara Rp 5- Rp 15
juta. Sedangkan berdasar wilayah, penurunan omzet tertinggi dialami oleh
pedagang di kota Yogya dan Kabupaten Sleman, masing-masing sebesar -25,5 persen
dan -22,9 persen.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar